Beranda | Artikel
Berdakwah Ke Thaif
Minggu, 2 September 2007

BERDAKWAH KE THAIF

Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah Radhiyallahu anha, gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin meningkat. Kaum Quraisy tak peduli dengan kesedihan yang tengah menghinggapi diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hingga akhirnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan keluar dari Mekkah untuk menuju Thaif. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap penduduk Thaif mau menerimanya.

Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tinggal harapan. Penduduk Thaif menolak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencemoohnya, bahkan mereka memperlakuan secara buruk terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kenyataan ini sangat menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliaupun kembali ke Mekkah dalam keadaan sangat sedih, merasa sempit dan susah.

Keadaan ini diceritakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami-Pen.) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” [1]

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].

Begitulah sambutan penduduk Thaif. Penolakan mereka saat itu sangat mempengaruhi jiwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga beliaupun bersedih. Namun kesedihan ini tidak berlangsung lama. Karena sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Mekkah, saat melakukan perjalanan kembali dari Thaif, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pertolongan Allah Azza wa Jalla . Pertolongan ini sangat berpengaruh positif pada jiwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengurangi kekecewaan karena penolakan penduduk Thaif, sehingga semakin menguatkan tekad dan semangat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan din (agama) yang hanif ini.

PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Pertongan pertama datang saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Qarnuts-Tsa’âlib atau Qarnul-Manazil.[2] Allah Azza wa Jalla mengutus Malaikat Jibril Alaihissallam bersama malaikat penjaga gunung yang siap melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perlakuan buruk penduduk Thaif. Namun tawaran ini diabaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkeinginan melampiaskan kekecewaaan atas penolakan penduduk Thaif. Justru sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan agar dari penduduk Thaif ini terlahir generasi bertauhid yang akan menyebarkan Islam.

Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat agung. Saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu membalas perlakuan buruk dari kaumnya, namun justru memberikan maaf dan mendoakan kebaikan. Demikian ini selaras dengan beberapa sifat beliau yang diceritakan dalam al-Qur’ân, seperti sifat lemah lembut,[3] kasih sayang, dan sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.[4]

Kemudian pertolongan dan dukungan yang kedua, yaitu saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di lembah Nakhlah, dekat Mekkah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal disana selama beberapa hari. Pada saat itulah Allah Azza wa Jalla mengutus sekelompok jin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5] Mereka mendengarkan al-Qur`ân dan kemudian mengimaninya. Peristiwa itu disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam dua surat, yaitu al-Ahqâf dan al-Jin ayat 1 hingga 15.

Allah berfirman dalam surat al-Ahqâf/46 ayat 29-31:
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ ﴿٢٩﴾ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿٣٠﴾ يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.

Kedua peristiwa di atas meningkatkan optimisme Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga bangkit berdakwah dengan penuh semangat tanpa peduli dengan berbagai penentangan yang akan dihadapinya.

PERLINDUNGAN AL MUTH’IM BIN ‘ADIY
Setelah kembali ke Mekkah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlindungan dari al-Muth’im bin ‘Adiy, sehingga kaum kafir Quraisy tidak leluasa mengganggunya. Al-Muth’im memiliki dua jasa sangat besar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pertama, ia memiliki peran dalam perusakan kertas perjanjian pemboikotan yang ditempelkan di dinding Ka’bah. Kedua, ia memberikan perlindungan saat kaum Quraisy berusaha mengusir dan mengganggu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jasa al-Muth’im ini selalu diingat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga seusai mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badr, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal para tawanan:

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Seandainya al-Muth’im bin Adiy masih hidup, lalu dia mengajakku berbicara tentang para korban yang mati ini (maksudnya, meminta Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan mereka, Pen.), maka tentu aku serahkan mereka kepadanya.[6]

PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Prioritas dakwah Rasulullah terhadap tokoh kabilah Tsaqif di Thaif kala itu merupakan bukti pentingnya menyampaikan dakwah kepada para tokoh panutan manusia.

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap sabar menghadapi perlakuan buruk para penentangnya. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Perjumpaan jin dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di lembah Nakhlah merupakan bukti, bahwa jin itu ada dan mereka itu juga mukallaf .[7] Di antara jin ada yang beriman, dan ada juga yang kafir.

4. Berimannya sekelompok jin tersebut merupakan hiburan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setelah mendapatkan perlakuan buruk dari penduduk Thaif.

5. Dalam kisah rihlah (perjalanan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif dan penderitaan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami terdapat pelajaran bagi para da’i. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggung derita, maka begitu juga para da’i. Oleh karena itu, pada da’i wajib mempersiapkan diri, karena dakwah merupakan jalan para nabi dan orang-orang shalih. Juga dikarenakan tuntutan hikmah Allah Azza wa Jalla bahwa din ini tidak akan dimenangkan kecuali dengan amalan dan usaha keras manusia.

Sumber:
As-Sîratun-Nabawiyatu fi Dhau-il Mashâdiril ash Liyyah, karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Dua gunung besar di Mekkah, yaitu Gunung Abu Qubais dan Gunung Qu’aiqi’an. Ada juga yang mengatakan Gunung Abu Qubais dan Gunung al-Ahmar. Lihat footnote as-Siratun-Nabawiyyah fî Dhau’il Mashadiril-Ashliyyah, hlm. 228.
[2]. Tempat miqat penduduk Najd.
[3]. Lihat Qs ‘Ali ‘Imran/3 ayat 159
[4]. Lihat Qs at-Taubah/9 ayat 128.
[5]. Kedatangan sekelompok jin ini juga diceritakan dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari. Lihat Fathul-Bâri (18/314, no. 4921) dan Imam Muslim (1/331, no. 449). Ibnu Hajar t membawakan beberapa dalil yang mendukung pendapat Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’ad yang menyatakan, bahwa peristiwa kedatangan para jin ini terjadi saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Thaif
[6]. HR Imam al-Bukhari. Lihat Fathul-Bâri 12/226-227, no. 3139
[7]. Terkena kewajiban syariat.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2218-berdakwah-ke-thaif.html